Tinta Emas Surakarta
Banyak orang berasumsi bahwa kita baru merasakan kehilangan sesuatu ketika ia sudah jauh dari jangkauan kita. Begitu pula yang saya rasakan setelah bergumul dengan amerika dan hiruk pikuknya. Sedikit banyak terbesit kerinduan saya pada kenangan-kenangan saya dulu ketika masih di Solo. Ketika bergulat dengan hujan, panas dan segala momentum di dalamnya.
Saya sendiri mungkin hanya akan mengecap Solo untuk satu tahun ke depan. Dan tidak tahu kapan akan kembali lagi ke kota itu. Saya teringat "perjuangan" saya dulu ketika pertama kali menginjakkan kaki di buminya orang paling halus sejawa tengah ini dengan berbagai kesulitan. Saya sendiri dilahirkan di Solo, namun tidak cukup lama mengenyam hidup di kota itu. Sampai pada akhirnya saya merasakan merah hitamnya kota ini sebagai bocah Margoyudan yang bersekolah di SMA Negeri 1 Surakarta. Juga sebagai bocah kos-kosan yang selalu playon kesana kemari.
Hidup memang sebuah pembelajaran. Pun begitu dengan kehidupan saya yang baru itu. Di kota kenangan itu. Pertama kalinya saya belajar begitu banyak hal. Terlalu banyak mungkin sehingga kini itu merubah hidup saya sepenuhnya. Eeutuhnya. Sehingga bahkan saya tidak mengetahui kemana diri saya yang lama menghilang.Dari mulai idealisme hingga cara bertindak. Terlalu banyak tokoh dan figur yang menginspirasi saya. Terlalu banyak pepundhen yang semalam suntuk mungkin tidak akan sanggup selesai saya jabarkan jasanya.
Dari mulai Perbatasan Sragen- Karanganyar, sampai Cemani- Sukoharjo dan Winong Baru Boyolali terbentang figur-figur itu. Menorehkan sebuah berkas yang selalu tersimpan didalam untaian kisah nostalgia historis. Dan mencabik-cabik diri saya sehingga menuju suatu bentuk transformasi yang lebih baik.
Di balik tenda kusam Suromadu di Sondakan, terukir sebuah kenangan atas kebersamaan dan perjuangan. Mencari makan. Bersama dengan dua teman kos saya, mengarungi derasnya hujan untuk dapat mencicipi sego mawut Suromadu dengan asas BMW (Bersih, Murah, Wareg). Atau dari balik gemuruh suara gamelan di Mangkunegaran, saya lihat seorang anak SMA duduk hening menghayati dan menafsirkan pemahamannya. Yang kemudian nantinya anak itu menjadi pepundhen saya mengajarkan pada saya sikap lila legawa dan interpretasinya terhadap filsafat.
Atau dari kemegahan Sriwedari saya ingat ketika besoknya tidak ada PR, maka saya akan mengayuh sepeda melihat Wayang Orang meski kadangkala hujan turun ditengah perjalanan. Seringkali pula saya melihat wayang di TBS (Taman Budaya Surakarta) kemudian esoknya tertidur disitu hingga paginya seorang petugas menyapa saya "Bibar ningali wayang wau ndalu dek?"
Saya juga masih ingat kemana-mana selalu berjalan. Walaupun hujan selalu mengguyur kota itu. Justru dari sana saya merindukan masa-masa itu. Masa kelaparan di kos. Masa dikejar tuntutan ekonomi sebagai anak kos. Dimana saya belajar Tuhan Mahakaya dengan segala rezekinya. Karena walupun uang saya habis, pasti ada saja cara Tuhan mengirimkannya. Seperti ketika suatu saat seorang anak datang mengantarkan amplop berisi uang pada saya. Ketika saya benar-benar tidak memiliki uang bahkan untuk makan.
" Mas Gin, ini uang dari lomba debat kemarin". Jagad Dewa Bathara Gusti, njenengan Maha Welas.
Kemudian dari dinginnya pagi di Manahan, mengingatkan saya ketika pagi pelajaran Olah Raga saya akan pusing cari tumpangan. Setelah itu menyantap bubur ayam untuk sarapan bersama teman "pak ojek" saya. Satu-satunya sarapan seminggu sekali. Yaitu ketika ada pelajaran Olah Raga. Nantinya saya telat masuk kelas tambahan biologi atau mendapat muka kecut guru.
Dan dibalik nyanyian tembang lawas serta gemerlap lampu galabo saya merindukan saat-saat bersama seseorang yang darinya saya belajar ketulusan dan menghayati cinta sebagai individu muda seperti tunas yang baru tersiram air atau ulat yang hendak bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Sebuah cinta yang sudah semestinya beravatara dalam fase baru dalam penghayatan dan filosofisnya yang baru. Atau sama manisnya penghayatan itu sehingga mengubah orientasi dan filsafat cinta seluruhnya dan mentransformasikanya menuju bentuk eternalisme.
Dengan tulisan ini saya goreskan tinta emas dari sanubari saya yang terdalam sebagai ungkapan terima kasih untuk pepundhen-pepundhen, teman-teman dan orang-orang yang berharga bagi saya di Surakarta, dimana seorang Gineng Pratidina menemukan jati dirinya dan bermanifestasi memulai sebuah proses pembelajaran untuk menjadi individu seutuhnya.
0 Response to "Tinta Emas Surakarta"