Sebuah Untaian Nostalgia Historis Bocah Margoyudan
Berikut ini adalah tulisan pepundhen saya mas Rudy Wiratama. Beliau sekarang adalah Mahasiswa Komunikasi Universitas Gadjah Mada sekaligus penulis beberapa artikel tentang Wayang dan kebudayaan. Sesama rekan pencinta wayang kulit dan kebudayaan Jawa dari SMA saya dulu, SMA Negeri 1 Surakarta. Sebagai sesama insan yang mengarungi lika-liku suka duka hidup di dalam lingkungan SMA N 1 Surakarta. Sekaligus sebagai sesama insan yang merindukan masa-masa itu kembali.
September,28 2009 oleh Rudy Wiratama sahabat baik, guru sekaligus pepundhen saya.
Ehem.
Saya baru saja membuka beberapa referensi yang berkaitan dengan SMA Negeri 1 Surakarta, sepulang saya dari kota Solo untuk beberapa waktu lamanya kembali bergumul debu di belantara Yogyakarta. Dari beberapa referensi itu saya menemukan beberapa hipotesis tentang kapan berdirinya SMA Negeri 1 Surakarta tercinta ini. Ada yang berpendapat bahwa SMA Negeri 1 berdiri sezaman dengan masa pendudukan Jepang,ada pula yang menyatakan bahwa SMA Negeri 1 berdiri pada masa perjuangan kita di tahun 1945.
Namun yang pasti bahwa sebuah sumber yang dapat dipercaya adalah turunnya SK pada tanggal 15 Desember 1949 yang menandai berdirinya SMA Negeri 1 Surakarta pasca Agresi Militer II pada tahun sebelumnya, yang berarti SMA ini lebih tua empat hari dari Universitas Gadjah Mada =P (SMA ini katanya adalah SMA "Mbarep" Se-Indonesia)
SMA Negeri 1 Surakarta, pada mulanya adalah SMA perjuangan. SMA Candradimuka. SMA di mana para siswa digembleng menjadi para Gatotkaca-Gatotkaca dan Srikandi-Srikandinya Indonesia, wabil khusus bagi keluarganya masing-masing. Menurut keterangan yang didapat pula dikatakan bahwa SMA N 1 Surakarta, begitu pula Surabaya, bukanlah hasil nasionalisasi dari AMS atau MULO yang berdiri pada masa kolonial, melainkan SMA yang didirikan atas dasar prakarsa para putra bangsa.
SMA Negeri 1 Surakarta, pada kemudian hari, tumbuh dengan segenap kebanggaan, dipupuk oleh keikhlasan dan pengabdian,menjadi sebuah kekuatan yang diperhitungkan dalam kancah nasional. Berapa menteri yang dihasilkan? Berapa pejabat yang ditelorkan? Berapa dokter, insinyur, ulama' bahkan orang gila macam saya yang telah dicetak oleh SMA Negeri 1 Surakarta?
SMA Negeri 1 Surakarta, beserta seluruh penghuni dan "almarhum"siswa alias alumninya,termasuk saya, tentu saja merasa bangga dengan ini. Tiap minggu, saat upacara pasti ada saja yang maju menerima piala, piagam bahkan medali di depan seluruh hadirin. Tiap saat pasti akan meluncur kata-kata "eh, Mas A atau mbak B ki mentas juara lomba anu lho..."
Namun adakalanya kita perlu tersadar, bahwa nostalgia yang overdosed bisa menjadi racun berbahaya yang bisa membunuh kita. Bisa menjadi sebuah bisa yang mematikan bagi SMA kita tercinta sendiri.
Jauh dari lindungan pohon tua yang memayungi latar Margoyudan, jauh dari sejuknya ruangan Masjid An-Nuur yang berdiri gagah, gemilang kubah besinya diterpa cahaya matahari, saya mulai bertanya-tanya.
Kini SMA Negeri 1 Surakarta sama saja dengan badan pendidikan lainnya. Di mana kata kerakyatan dan sekolah untuk semua hanyalah simbol pemanis halaman surat kabar dan majalah saja. Di mana semua keberpihakan kepada intelektualitas dan kreatifitas, saya kira sama usangnya dengan menara lonceng yang kini menjadi basecamp OSIS setelah sebelumnya menikmati masa-masa kejayaan memiliki headquarter sendiri.
Memang tak seratus persen anggapan saya benar, karena yang namanya anggapan itu pasti subjektif. Dan subjektifitas yang diumumkan, harus siap dikritik dan dipenuhi omongan kontra.
Tapi di luar sana, mulai ada anggapan bahwa SMA 1 Surakarta mulai menjadi SMA yang cuma hidup secara formalitas. Di satu sisi kegiatan siswa seakan menjadi terkebiri atas campur tangan birokrasi, sehingga yang ada sekarang adalah semacam ketertindasan sukarela dan kemenangan para pemegang kekuasaan atas siswa. (Jangan-jangan karena kegiatan siswa mulai diendus sebagai kekuatan subversif yang bisa meledak dan menjungkirbalikkan birokrat yang bobrok sewaktu-waktu? Wallahu a'lam)
Satu ilustrasi yang menarik, ketika saya di awal kelas tiga SMA, akan mengikuti lomba pidato berbahasa Jawa, kemudian tiba-tiba dipanggil oleh pembimbing saya, seorang guru senior dengan kata: Mas, nuwun sewu ini biar sekolah diwakili oleh putranya pak T......sabar ya mas, ini dhawuh dari atasan....". Saya bisa menerima hal itu, dan berkaca bahwa saya sudah termasuk siswa yang uzur, sehingga sepantasnya saya membiarkan tunas-tunas baru tumbuh dan ngrembuyung, meneduhkan SMA N 1 Surakarta.
Saya tak habis pikir. Dari tahun ke tahun, SMA kita tercinta ini makin kehilangan militansinya. Kehilangan perbawanya. Seakan benar kata leluhur, " ageng nanging ora agung, ayem nanging ora ayom". Karena pada dasarnya Agung dan Ayom itu tidak bisa turun dari langit secara tiba-tiba, melainkan dengan mental yang samad-sinamadan, daya-dinayan, saling sokong dan saling dukung serta dikompori dengan semangat yang Spartan.
SMA kita bukanlah SMA yang "ussisa 'alas-siyasah", bukan SMA tempat intrik dan konflik, bukan SMA ajang pamer kuasa dan harta, bukan SMA sinetron tempat pameran kegantengan dan kecantikan.
SMA kita, sekali lagi tak bermaksud untuk meninggikan chauvinisme, adalah SMA yang menjadi kebanggaan, tak cuma oleh intern siswa dan alumni serta gurunya, melainkan kebanggaan semua. Kebanggaan seluruh masyarakat Surakarta.
SMA Negeri 1, saya tak mau banyak mengritik, mestinya harus tepa sarira, (selira itu artinya biawak,sarira itu artinya diri,badan. Jadi tepa selira itu sebenarnya bukan mawas diri, tapi melihat biawak,hehehe) dengan menghayati kembali Mars-nya:
SMA Negeri Satu Tercinta nan kuluhurkan
Pendidikan tunas cendekiawan setia, pembela nusa dan bangsa
Guru-muridnya kerja bersama, satya bhakti Pancasila
Tak 'kan lengah,bhakti pertiwi, sukseskan kerja pembangunan
Tetap harum, lekat di hati, SMA Satu kujunjung tinggi.....
Masjid An-Nur, pohon Ringin "MG", lapangan tengah, warung Pak Gimin, parkiran wetan, kantor guru, I'll Miss You!
SELAMAT MILAD KE-60 SMA NEGERI 1 SURAKARTA. Salam rindu dari cah ra mutu yang pernah merasakan nikmatnya bersekolah di Margoyudan....
September,28 2009 oleh Rudy Wiratama sahabat baik, guru sekaligus pepundhen saya.
Ehem.
Saya baru saja membuka beberapa referensi yang berkaitan dengan SMA Negeri 1 Surakarta, sepulang saya dari kota Solo untuk beberapa waktu lamanya kembali bergumul debu di belantara Yogyakarta. Dari beberapa referensi itu saya menemukan beberapa hipotesis tentang kapan berdirinya SMA Negeri 1 Surakarta tercinta ini. Ada yang berpendapat bahwa SMA Negeri 1 berdiri sezaman dengan masa pendudukan Jepang,ada pula yang menyatakan bahwa SMA Negeri 1 berdiri pada masa perjuangan kita di tahun 1945.
Namun yang pasti bahwa sebuah sumber yang dapat dipercaya adalah turunnya SK pada tanggal 15 Desember 1949 yang menandai berdirinya SMA Negeri 1 Surakarta pasca Agresi Militer II pada tahun sebelumnya, yang berarti SMA ini lebih tua empat hari dari Universitas Gadjah Mada =P (SMA ini katanya adalah SMA "Mbarep" Se-Indonesia)
SMA Negeri 1 Surakarta, pada mulanya adalah SMA perjuangan. SMA Candradimuka. SMA di mana para siswa digembleng menjadi para Gatotkaca-Gatotkaca dan Srikandi-Srikandinya Indonesia, wabil khusus bagi keluarganya masing-masing. Menurut keterangan yang didapat pula dikatakan bahwa SMA N 1 Surakarta, begitu pula Surabaya, bukanlah hasil nasionalisasi dari AMS atau MULO yang berdiri pada masa kolonial, melainkan SMA yang didirikan atas dasar prakarsa para putra bangsa.
SMA Negeri 1 Surakarta, pada kemudian hari, tumbuh dengan segenap kebanggaan, dipupuk oleh keikhlasan dan pengabdian,menjadi sebuah kekuatan yang diperhitungkan dalam kancah nasional. Berapa menteri yang dihasilkan? Berapa pejabat yang ditelorkan? Berapa dokter, insinyur, ulama' bahkan orang gila macam saya yang telah dicetak oleh SMA Negeri 1 Surakarta?
SMA Negeri 1 Surakarta, beserta seluruh penghuni dan "almarhum"siswa alias alumninya,termasuk saya, tentu saja merasa bangga dengan ini. Tiap minggu, saat upacara pasti ada saja yang maju menerima piala, piagam bahkan medali di depan seluruh hadirin. Tiap saat pasti akan meluncur kata-kata "eh, Mas A atau mbak B ki mentas juara lomba anu lho..."
Namun adakalanya kita perlu tersadar, bahwa nostalgia yang overdosed bisa menjadi racun berbahaya yang bisa membunuh kita. Bisa menjadi sebuah bisa yang mematikan bagi SMA kita tercinta sendiri.
Jauh dari lindungan pohon tua yang memayungi latar Margoyudan, jauh dari sejuknya ruangan Masjid An-Nuur yang berdiri gagah, gemilang kubah besinya diterpa cahaya matahari, saya mulai bertanya-tanya.
Kini SMA Negeri 1 Surakarta sama saja dengan badan pendidikan lainnya. Di mana kata kerakyatan dan sekolah untuk semua hanyalah simbol pemanis halaman surat kabar dan majalah saja. Di mana semua keberpihakan kepada intelektualitas dan kreatifitas, saya kira sama usangnya dengan menara lonceng yang kini menjadi basecamp OSIS setelah sebelumnya menikmati masa-masa kejayaan memiliki headquarter sendiri.
Memang tak seratus persen anggapan saya benar, karena yang namanya anggapan itu pasti subjektif. Dan subjektifitas yang diumumkan, harus siap dikritik dan dipenuhi omongan kontra.
Tapi di luar sana, mulai ada anggapan bahwa SMA 1 Surakarta mulai menjadi SMA yang cuma hidup secara formalitas. Di satu sisi kegiatan siswa seakan menjadi terkebiri atas campur tangan birokrasi, sehingga yang ada sekarang adalah semacam ketertindasan sukarela dan kemenangan para pemegang kekuasaan atas siswa. (Jangan-jangan karena kegiatan siswa mulai diendus sebagai kekuatan subversif yang bisa meledak dan menjungkirbalikkan birokrat yang bobrok sewaktu-waktu? Wallahu a'lam)
Satu ilustrasi yang menarik, ketika saya di awal kelas tiga SMA, akan mengikuti lomba pidato berbahasa Jawa, kemudian tiba-tiba dipanggil oleh pembimbing saya, seorang guru senior dengan kata: Mas, nuwun sewu ini biar sekolah diwakili oleh putranya pak T......sabar ya mas, ini dhawuh dari atasan....". Saya bisa menerima hal itu, dan berkaca bahwa saya sudah termasuk siswa yang uzur, sehingga sepantasnya saya membiarkan tunas-tunas baru tumbuh dan ngrembuyung, meneduhkan SMA N 1 Surakarta.
Saya tak habis pikir. Dari tahun ke tahun, SMA kita tercinta ini makin kehilangan militansinya. Kehilangan perbawanya. Seakan benar kata leluhur, " ageng nanging ora agung, ayem nanging ora ayom". Karena pada dasarnya Agung dan Ayom itu tidak bisa turun dari langit secara tiba-tiba, melainkan dengan mental yang samad-sinamadan, daya-dinayan, saling sokong dan saling dukung serta dikompori dengan semangat yang Spartan.
SMA kita bukanlah SMA yang "ussisa 'alas-siyasah", bukan SMA tempat intrik dan konflik, bukan SMA ajang pamer kuasa dan harta, bukan SMA sinetron tempat pameran kegantengan dan kecantikan.
SMA kita, sekali lagi tak bermaksud untuk meninggikan chauvinisme, adalah SMA yang menjadi kebanggaan, tak cuma oleh intern siswa dan alumni serta gurunya, melainkan kebanggaan semua. Kebanggaan seluruh masyarakat Surakarta.
SMA Negeri 1, saya tak mau banyak mengritik, mestinya harus tepa sarira, (selira itu artinya biawak,sarira itu artinya diri,badan. Jadi tepa selira itu sebenarnya bukan mawas diri, tapi melihat biawak,hehehe) dengan menghayati kembali Mars-nya:
SMA Negeri Satu Tercinta nan kuluhurkan
Pendidikan tunas cendekiawan setia, pembela nusa dan bangsa
Guru-muridnya kerja bersama, satya bhakti Pancasila
Tak 'kan lengah,bhakti pertiwi, sukseskan kerja pembangunan
Tetap harum, lekat di hati, SMA Satu kujunjung tinggi.....
Masjid An-Nur, pohon Ringin "MG", lapangan tengah, warung Pak Gimin, parkiran wetan, kantor guru, I'll Miss You!
SELAMAT MILAD KE-60 SMA NEGERI 1 SURAKARTA. Salam rindu dari cah ra mutu yang pernah merasakan nikmatnya bersekolah di Margoyudan....
0 Response to "Sebuah Untaian Nostalgia Historis Bocah Margoyudan"