Ironisme Dasamuka
Tidak pun seorang raja mahabesar, hidup memang tidak mengenal belas kasihan. Ia mencabik semua yang pernah ada dalam lingkupan dimensinya. Tanpa terkecuali. Bukan hidup yang mencabiknya sesungguhnya. Melainkan sistem yang ada dalam suatu kata yang didefinisikan sebagai hidup itu sendiri. Dengan belatinya yang bermata seribu yang menusuk kemana pun, dimana pun, siapa pun. Dengan ironismenya.
Bahkan seorang Dasamuka yang memerintah Tribawana (walaupun secara ofisial dianggap memerintah Alengka) dengan Pancasonanya yang konon dapat membuainya dalam keabadian selama jasadnya menyentuh tanah, tidak kuasa bertolak dari suatu ironisme. Tidak seorang pun nyatanya.
Ironis, karena ia mati dalam hujatan. Dalam stereotip yang dibungkus doktrin yang dibenarkan. Memang benar, becik ketitik ala ketara. Lebih mudah melihat kejelekan orang lain daripada mengakui keistimewaan seseorang. Sing ala luwih ketara lan sing becik mung ketok setitik. Lebih mudah mencintai Ramawijaya dengan welas asihnya daripada belajar dari seorang Dasamuka.
Apakah dunia tidak lagi berpikir, kejayaannya, romantismenya dan kegigihan tekadnya? Tidakkah dunia sedikit saja mengahrgai usahanya? Minimal dia sudah menepati dharmmanya. Sebagai makhluk yang ditakdirkan terlahir sebagai raksasa. Kode etik raksasa, yang perlu diterjemahkan dalam dogmanya sendiri. Bukan ditafsirkan serupa dengan dogma kesatriaan.
Apakah dunia sudah lupa tentang pengorbanan Dasamuka untuk rakyatnya, Alengka semasa pangerannya dulu. Dia bertapa beribu-ribu tahun mengorbankan 9 kepalanya pada dewata. Sebagai tanda bakti dan untuk kesaktian, yang bermuara pada kejayaan Alengka.
Apakah dunia sudah lupa dengan sejarahnya sendiri, bahwa semenjak kemusnahan Alengka, tidak ada lagi kemakmuran sejaya jaman Dasamuka dimana rumah penduduk saja bertembokkan emas. Kemudian ia lari dari takdirnya dan mengubah namanya menjadi Singgelapura. Singgelapura? Hanya omong kosong Wibisana yang idealis. Kemudian kerajaan itu hanya musnah tanpa ada suatu catatan yang signifikan.
Dan ironis memang bahwa pada akhirnya ia bahkan tidak mendapat apapun dari pengorbanannya. Bahkan romantismenya kepada Sinta. Dengan sikap gentlemen menghargai keputusan Sinta untuk tidak sedikit pun tersentuh olehnya. Dengan kebijaksanaannya belajar dari Widowati. Dia masih mengambang dalam romantismenya. Dan dia mati dengan romantismenya.
Dasamuka oh dasamuka. Biarkan dunia menghujatmu, tapi setidaknya satu dua orang mengetahui apa yang telah kau perbuat untuk bangsamu untuk dharmmamu.
Bahkan seorang Dasamuka yang memerintah Tribawana (walaupun secara ofisial dianggap memerintah Alengka) dengan Pancasonanya yang konon dapat membuainya dalam keabadian selama jasadnya menyentuh tanah, tidak kuasa bertolak dari suatu ironisme. Tidak seorang pun nyatanya.
Ironis, karena ia mati dalam hujatan. Dalam stereotip yang dibungkus doktrin yang dibenarkan. Memang benar, becik ketitik ala ketara. Lebih mudah melihat kejelekan orang lain daripada mengakui keistimewaan seseorang. Sing ala luwih ketara lan sing becik mung ketok setitik. Lebih mudah mencintai Ramawijaya dengan welas asihnya daripada belajar dari seorang Dasamuka.
Apakah dunia tidak lagi berpikir, kejayaannya, romantismenya dan kegigihan tekadnya? Tidakkah dunia sedikit saja mengahrgai usahanya? Minimal dia sudah menepati dharmmanya. Sebagai makhluk yang ditakdirkan terlahir sebagai raksasa. Kode etik raksasa, yang perlu diterjemahkan dalam dogmanya sendiri. Bukan ditafsirkan serupa dengan dogma kesatriaan.
Apakah dunia sudah lupa tentang pengorbanan Dasamuka untuk rakyatnya, Alengka semasa pangerannya dulu. Dia bertapa beribu-ribu tahun mengorbankan 9 kepalanya pada dewata. Sebagai tanda bakti dan untuk kesaktian, yang bermuara pada kejayaan Alengka.
Apakah dunia sudah lupa dengan sejarahnya sendiri, bahwa semenjak kemusnahan Alengka, tidak ada lagi kemakmuran sejaya jaman Dasamuka dimana rumah penduduk saja bertembokkan emas. Kemudian ia lari dari takdirnya dan mengubah namanya menjadi Singgelapura. Singgelapura? Hanya omong kosong Wibisana yang idealis. Kemudian kerajaan itu hanya musnah tanpa ada suatu catatan yang signifikan.
Dan ironis memang bahwa pada akhirnya ia bahkan tidak mendapat apapun dari pengorbanannya. Bahkan romantismenya kepada Sinta. Dengan sikap gentlemen menghargai keputusan Sinta untuk tidak sedikit pun tersentuh olehnya. Dengan kebijaksanaannya belajar dari Widowati. Dia masih mengambang dalam romantismenya. Dan dia mati dengan romantismenya.
Dasamuka oh dasamuka. Biarkan dunia menghujatmu, tapi setidaknya satu dua orang mengetahui apa yang telah kau perbuat untuk bangsamu untuk dharmmamu.
0 Response to "Ironisme Dasamuka"