[Live as an exchange student of AFS] Part.1 Westlife - Fool Again
Mungkin di tulisan sebelumnya, saya lupa memperkenalkan diri telebih dahulu (hehe). Nama saya Gineng Pratidina Permana Sakti. Nama yang cukup sulit untuk diingat bagi orang biasa. Dan biasanya orang-orang pun spontan bertanya, “Gineng? Artinya apa?” Dan saya pun hanya tertawa haha. Gineng sendiri tidak bermakna apa-apa, tapi Gineng Pratidina berarti sebuah kebenaran yang tidak akan pernah mati (enough nice, isn’t it? :p).
Saya sangat mencintai budaya tanah kelahiran saya, Jawa. Itu sebabnya beberapa tulisan saya terdahulu adalah berkenaan dengan aspek-aspek filosofis masyarakat Jawa. Disamping itu, ada sisi lain dari hidup saya yang teramat ingin saya bagi bersama teman-teman dan orang lain. Yaitu aspek kehidupan saya yang lain yang seratus persen berbeda dengan dunia filsafat dan filosofi. Bukan dengan apa-apa, namun saya berharap bisa menjadi pengetahuan dan pembelajaran. Saya sendiri menghayati kehidupan saya yang satu ini sebagai sebuah perjalanan batin dan pengalaman saya yang amat panjang.
” I am an AFSer and I wicked proud of it“. Lalu, apa itu AFS? AFS adalah organisasi pertukaran pelajar terbesar di dunia yang setiap tahunnya mengelola siswa-siswanya untuk belajar dan tinggal di negeri lain. Dan kebetulan saya adalah salah satu dari siswa tersebut yang mendapat keberuntungan untuk mencicipi hidup di Amerika Serikat dan mengenyam High School disana. Tepatnya di Sterling, Colorado.
Saya masih ingat betul, bagaimana dulu ketika saya masih SMP selalu duduk termenung di depan Mushola ketika bel istirahat sambil menatap ke arah langit luas. Yang saya lakukan ketika itu adalah berpikir dengan kecupetan akal dan pengetahuannya , “seperti inikah pula langit di Amerika?”.
Kemudian hari-hari terhabiskan demikian monotonnya dengan berkhayal dan menyelami fantasi. Masih terngiang juga di benak saya ketika seorang teman dengan ketusnya mengatakan pada saya,
” Kamu itu mikir apa Gin? Amerika lagi? Muke lo jauh kali. hahaha”
Anyway okelah, terima kasih teman untuk kata-kata itu, karena justru dari situ saya tau, itu mimpi saya. Walaupun tidak sama sekali dimaksudkan untuk memberika kesadaran atau persepsi.
Itulah yang mengawali perjalanan saya sebagai seorang AFSer. Dimulai dari kebiasaan melihat langit sambil bergelut dan terhenyak dalam imajinasi tentang Amerika Serikat. Sampai di rumah pun, ketika senja menjelang, saya akan naik ke atap rumah sambil lagi-lagi menatap langit. Bermimpi tentang Amerika. Entah kenapa, hanya perasaan damai ketika mimpi itu terealisasikan dalam hasrat dan image tertentu. Kemudian dari sana saya tahu, bahwa yang membuat hidup ini berarti adalah karena kita memiliki mimpi dan ambisi.
Sampai pada suatu ketika, saya menemukan dalam komputer saya file tentang Westlife tidak tahu darimana. Bukan kebiasaan saya mendengarkan lagu-lagu Barat. Saya lebih suka duduk berjam-jam mendengarkan Gamelan atau Campursari. Dan entah kenapa, tiba-tiba saja ada suatu chemistry yang menarik saya untuk mendengarkannya. WESTLIFE – FOOL AGAIN. Itulah lagu Barat yang pertama kali saya dengarkan dalam hidup saya. Lagi-lagi saya teringat tentang Amerika. Walaupun sedikit pun tidak kaitan antara syair dalam lagu itu dengan Amerika. Namun nuansa yang saya rasakan adalah nuansa keamerikaan dalam lagu itu ( pandangan yang amat subjektif juga sebenarnya). Jadilah, hari-hari saya hanya dihabiskan untuk mendengarkannya. Entah berapa kali saya putar. Tetap saja tidak ada kebosanan sedikit pun. Yang paling saya suka kala itu ialah, bermain playstation dengan kaset Driver 3 (game mengendarai mobil di kota) yang memang bersetting d Chicago, Illlinois USA sambil mendengarkan Fool Again. Atau menggambar bendera Amerika pada aplikasi paint di komputer (ketika itu hanya itu yang saya bisa :p) dengan mendengarkan Fool Again. Sudah berapa bendera saya buat dan sampai sekarang, sudah berapa lambang saya kreasikan. Dan file itu pun masih dalam komputer saya haha.
Sampai pada akhirnya dari ribuan tahap seleksi saya dinyatakan terkualifikasi sebagai penerima beasiswa. Bukan hal yang mudah pula bagi saya bertarung dengan ambisi dan keadaan kala itu. Dengan hidup seorang diri sebagai anak kos, saya melamar mengambil formulir beasiswa. Dengan hanya berbekal ambisi dan fantasi. Tanpa tahu akan seperti apa nantinya saya realisasikan resiko itu. Tahap pertama seleksi saya dengan kenekatannya memutuskan tidur di terminal. Saya berangkat seorang diri dengan bus, kemudian berencana tidur di terminal sampai pagi benar menjelang. Karena pada hari seleksi itu, seleksi diadakan begitu pagi dan kota saya tergolong jauh dari kota seleksi. Saya di Solo sedangkan seleksi di Semarang.
Seleksi tahap ketiga lagi-lagi saya menumpang diteman saya yang lain di boyolali. Menginap dirumahnya untuk bisa diantarkan. Saya hanya anak kos dengan uang pas-pasan. Anak kos dengan kesendiriannya merantau di Solo sehingga tumpang-menumpang adalah sesuatu hal yang wajar bagi saya.
Bukan hal yang mengherankan bagi saya untuk tidur diemperan dengan berbalut kedinginan. Atau berjalan kaki berkilo-kilo jauhnya karena orang tua saya tidak memberikan motor. Jadi dengan kondisi yang tidak tahu malu, saya bertahan. Biarlah tumpang menumpang asal tujuan saya terselaraskan.
Sampai beberapa seleksi berikutnya (total 7 tahap) saya mengalami hal serupa. Sampai pada puncaknya saya berangkat seleksi nasional dengan kenekatan. Seleksi nasional ada di Jakarta. Saya berangkat dengan mengantongi Rp 250.000,- Setelah sebelumnya saya meminta kiriman dana dari om saya Rp 150.000. Kebetulan hari tu adalah tanggal tua anak kos. Saya berangkat dengan segenap kenekatan. Sama seperti seleksi-seleksi sebelumnya. Ongkos PP Rp 220.000 dengan kereta bisnis Senja Utama. Sampai di Jakarta praktis saya hanya memiliki Rp 30.000. Rp 20.000 saya habiskan untuk makan sebelum berangkat dan di kereta. Saya pun sempat tertipu pedagang dikereta yang mengatakan nasi ayam Harga Rp 15.000, ternyata berisi nasi telur busuk. Jadilah berarti saya hanya makan sebelum berangkat, Rp 5000 sambel pecel Bu Lami dekat kos saya. Sampai di Jakarta uang hanya tinggal Rp 10.000. Perjalanan sekitar 12 jam. Saya baru sadar bahwa saya tidak membawa sikat, odol dan sabun. Dengan sangat terpaksa saya cairkan Rp 10.000 menjadi wujud barang-barang itu. Teman-teman saya mengajak saya sarapan.
"Gin, ayo sarapan. Cari di McDonald atau Dunkin"
Batin saya " Mbahmu kopyor. Duitku kari atusan le!"
Kemudian karena lama tidak menjawab teman saya langsung saja ngluyur ke Dunkin dan McDonald di stasiun.
Beberapa lama saya memandangnya. Dengan maksud ia semoga memperhatikan saya dengan kelaparannya. Tapi ternyata tidak. Burger dan french fries itu begitu saja masuk di mulutnya sedikit demi sedikit. Kemudian semuanya.
"Kamu ga makan gin?"
saya : "ga cukup uang"
"Oh"
saya : "nanti aja sampe hotel nunggu makan siang."
batin saya : "kopyor ora nawari gek tekok-tekok -,- "
Sesampainya di hotel saya hanya meneguk air putih sambil melihat gambar kopi di majalah yang ada di hotel. Agar terbayang minum kopi.
Yah~begitulah.
Berawal dari Fool Again, mimpi saya berubah menjadi ambisi. Sampai sekarang pun saya masih dibayang-bayangi paranoia itu. Saya tidak pernah menyesal telah bertindak demikian konyol, karena dari kekonyolan itu saya berpikir dan berusaha “menciptakannya”. Seperti yang Socrates bilang, bahwa “aku ada karena aku berpikir”. Kita adalah seperti apa yang kita pikirkan. Jangan pernah berhenti untuk bermimpi!
0 Response to "[Live as an exchange student of AFS] Part.1 Westlife - Fool Again"