[Live as an exchange student] Part.16 -- Suka dan Duka
Baru-baru ini saya menemukan buku di perpustakaan sekolah saya, Sterling High School tentang seorang gadis amerika bernama Megan McNeill yang berbicara tentang pengalamannya sebagai exchange student di Prancis. Dengan program yang sama seperti saya yaitu AFS. Setelah membaca tulisan Megan tentang dukanya menjadi seorang exchange student, saya jadi teringat bahwa saya hanya menyatakan hal-hal manis dalam blog saya. Sebenarnya tidak selamanya manis menjadi seorang pelajar di luar negeri. Jujur saja, kadang saya sendiri tidak tahu apa yang akan saya lakukan dan apa yang sedang saya lakukan. Sesuatu memang selalu datang dengan sisi baik dan buruk. Saya tidak munafik untuk mengatakan bahwa menjadi pelajar diluar negeri tidak seindah yang mungkin dibayangkan.
Saya pun dulu membayangkan utopia yang serba indah dan hidup yang serba nyaman. Namun sepertinya hidup berkata lain, dimanapun itu, hidup tidak pernah mudah. Menjadi pelajar luar negeri meninggalkan semua yang kita cintai. Bukan hanya orang-orang, tapi segalanya. Bahasa, makanan, budaya, hobi. Banyak teman-teman saya dari mancanegara yang begitu saja menyerah karena saking beratnya. Saya tidak menyalahkan mereka, karena saya merasakan sendiri bahwa hidup di negeri orang memang berat. Dengan orang-orang yang serba asing dan cara pandang mereka terhadap masalah yang sama sekali berbeda dengan kita.
Sebelum berangkat dulu, saya mengenal betul kata "culture shock" dan "language barrier" tapi saya belum menyadari seberapa besar impactnya dua kata itu terhadap hidup saya nanti. Ternyata memang bukan main-main. Sangat besar. Dua kata yang memisahkan saya dengan orang-orang asing ini. Karena saya tidak berbicara bahasa mereka, dan karena kadangkala saya tidak sepaham dengan pandangan mereka. Apa yang saya dapat dalam pelajaran bahasa Inggris di Indonesia, ternyata hanya sedikit membantu. Terlalu banyak diksi yang mereka gunakan berbeda dengan yang dipelajari di Indonesia dulu. Apalagi masalah idiom, sudah urusan berat menafsirkan istilah-istilah mereka seperti : "Loco Boca Pesa" , "Pain in the ass" dan lain sebagainya.
Bulan-bulan awal pun saya alami seperti saya "tidak hidup". Berbicara hanya dengan bahasa Tarzan dan lebih banyak mendengarkan. Kadangkala terlihat seperti kumpulan mulut yang terbuka yang tidak saya tahu apa yang mereka bicarakan. Fase-fase tersebut berlangsung sampai 3 bulan lamanya. Hingga akhirnya di 3 bulan saya tiba-tiba dapat mencerna apa yang mereka bicarakan dan memberikan respon balik. Senang sekali rasanya kala itu. Sebenarnya bukan masalah ketidakbisaannya mencerna kalimat, namun isi didalam kalimat itu yang tidak dipahami. Seringkali mereka membicarakan suatu istilah, benda atau sistem yang belum pernah kita tau sebelumnya.
Ketika berbicara pun tidak akan membahas hal yang kita ingin bahas, namun hal yang mereka igin bahas. Selalu begitu. Selalu tidak pernah ada celah untuk diperhatikan. Bukan tidak ada, namun sedikit sekali.Sebulan dua bulan mungkin menjadi pusat perhatian, namn lebih dari itu saya tidak lebih adalah tetap menjadi orang lain dalam kehidupan mereka. Kadangkala ingin rasanya saya memprotes, "kenapa kalian apatis sekali?". Terkadang berbicara pun diselingi tawa mereka atau kening yang berkerut karena mengucapkan tidak benar atau lucu.
Hidup dalam kesendirian dan berbicara hanya pada diri sendiri. Melakukan segalanya sendiri dan bertanggung jawab atas diri sendiri. Belum jika kenangan-kenangan tanah air datang menyelimuti. Hanya ada rasa sakit dan tangis dalam hati. Meninggalkan segalanya dan hidup bagai orang yang benar-benar tidak mengenal dunia sebelumnya. Semua terlihat berbeda. Semua yang kita kenal tidak ada didepan kita. Dan belajar meraba dan mengenali benda satu demi satu bagai bayi yang baru lahir. Hanya saja bayi itu sudah terlanjur mengenal benda dan jauh telah menginterpretasikannya dalam ideologinya.
Namun apa yang saya katakan tidak sepenuhnya benar dan berlaku di semua dimensi waktu, adakalanya pula saya merasakan kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri. Ketika melihat Football, Basket atau tim sekolah bertanding dan bersorak-sorak bersama teman-teman amerika saya, rasanya sudah lupa kalau saya orang Indonesia. Yah, semua memang tergantung moodnya dan labilitasnya saja. Kurvanya bisa nak ekstrem atau disatu sisi juga turun secara ekstrem.
Tapi dibalik itu semua, saya belajar hal yang tidak pernah akan saya pelajari jika saya masih di Indonesia. Terlalu banyak hal. Diluar negeri bukan selamanya mengenai having fun, tapi lebih menjadi sebuah pelajaran.Tentang kesadaran pribadi dan kepekaan sosial.Tentang memahami masyarakat yang baru dan terlibat didalamnya. Tentang melahirkan kesadaran pribadi dan tanggungjawab individu atas dirinya. Tentang hidup dan kehidupan dan tentang realita global.
Tanpanya, saya tidak akan pernah belajar arti kehidupan yang sesungguhnya. Yang begitu luas dan kompleks. Yang dulu saya tafsirkan begitu dangkal dan sepele. Namun nyatanya tidak demikian setelah melihat kenyataan sebenarnya yang hidup sodorkan pada saya saat ini.
Saya pun dulu membayangkan utopia yang serba indah dan hidup yang serba nyaman. Namun sepertinya hidup berkata lain, dimanapun itu, hidup tidak pernah mudah. Menjadi pelajar luar negeri meninggalkan semua yang kita cintai. Bukan hanya orang-orang, tapi segalanya. Bahasa, makanan, budaya, hobi. Banyak teman-teman saya dari mancanegara yang begitu saja menyerah karena saking beratnya. Saya tidak menyalahkan mereka, karena saya merasakan sendiri bahwa hidup di negeri orang memang berat. Dengan orang-orang yang serba asing dan cara pandang mereka terhadap masalah yang sama sekali berbeda dengan kita.
Sebelum berangkat dulu, saya mengenal betul kata "culture shock" dan "language barrier" tapi saya belum menyadari seberapa besar impactnya dua kata itu terhadap hidup saya nanti. Ternyata memang bukan main-main. Sangat besar. Dua kata yang memisahkan saya dengan orang-orang asing ini. Karena saya tidak berbicara bahasa mereka, dan karena kadangkala saya tidak sepaham dengan pandangan mereka. Apa yang saya dapat dalam pelajaran bahasa Inggris di Indonesia, ternyata hanya sedikit membantu. Terlalu banyak diksi yang mereka gunakan berbeda dengan yang dipelajari di Indonesia dulu. Apalagi masalah idiom, sudah urusan berat menafsirkan istilah-istilah mereka seperti : "Loco Boca Pesa" , "Pain in the ass" dan lain sebagainya.
Bulan-bulan awal pun saya alami seperti saya "tidak hidup". Berbicara hanya dengan bahasa Tarzan dan lebih banyak mendengarkan. Kadangkala terlihat seperti kumpulan mulut yang terbuka yang tidak saya tahu apa yang mereka bicarakan. Fase-fase tersebut berlangsung sampai 3 bulan lamanya. Hingga akhirnya di 3 bulan saya tiba-tiba dapat mencerna apa yang mereka bicarakan dan memberikan respon balik. Senang sekali rasanya kala itu. Sebenarnya bukan masalah ketidakbisaannya mencerna kalimat, namun isi didalam kalimat itu yang tidak dipahami. Seringkali mereka membicarakan suatu istilah, benda atau sistem yang belum pernah kita tau sebelumnya.
Ketika berbicara pun tidak akan membahas hal yang kita ingin bahas, namun hal yang mereka igin bahas. Selalu begitu. Selalu tidak pernah ada celah untuk diperhatikan. Bukan tidak ada, namun sedikit sekali.Sebulan dua bulan mungkin menjadi pusat perhatian, namn lebih dari itu saya tidak lebih adalah tetap menjadi orang lain dalam kehidupan mereka. Kadangkala ingin rasanya saya memprotes, "kenapa kalian apatis sekali?". Terkadang berbicara pun diselingi tawa mereka atau kening yang berkerut karena mengucapkan tidak benar atau lucu.
Hidup dalam kesendirian dan berbicara hanya pada diri sendiri. Melakukan segalanya sendiri dan bertanggung jawab atas diri sendiri. Belum jika kenangan-kenangan tanah air datang menyelimuti. Hanya ada rasa sakit dan tangis dalam hati. Meninggalkan segalanya dan hidup bagai orang yang benar-benar tidak mengenal dunia sebelumnya. Semua terlihat berbeda. Semua yang kita kenal tidak ada didepan kita. Dan belajar meraba dan mengenali benda satu demi satu bagai bayi yang baru lahir. Hanya saja bayi itu sudah terlanjur mengenal benda dan jauh telah menginterpretasikannya dalam ideologinya.
Namun apa yang saya katakan tidak sepenuhnya benar dan berlaku di semua dimensi waktu, adakalanya pula saya merasakan kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri. Ketika melihat Football, Basket atau tim sekolah bertanding dan bersorak-sorak bersama teman-teman amerika saya, rasanya sudah lupa kalau saya orang Indonesia. Yah, semua memang tergantung moodnya dan labilitasnya saja. Kurvanya bisa nak ekstrem atau disatu sisi juga turun secara ekstrem.
Tapi dibalik itu semua, saya belajar hal yang tidak pernah akan saya pelajari jika saya masih di Indonesia. Terlalu banyak hal. Diluar negeri bukan selamanya mengenai having fun, tapi lebih menjadi sebuah pelajaran.Tentang kesadaran pribadi dan kepekaan sosial.Tentang memahami masyarakat yang baru dan terlibat didalamnya. Tentang melahirkan kesadaran pribadi dan tanggungjawab individu atas dirinya. Tentang hidup dan kehidupan dan tentang realita global.
Tanpanya, saya tidak akan pernah belajar arti kehidupan yang sesungguhnya. Yang begitu luas dan kompleks. Yang dulu saya tafsirkan begitu dangkal dan sepele. Namun nyatanya tidak demikian setelah melihat kenyataan sebenarnya yang hidup sodorkan pada saya saat ini.
0 Response to "[Live as an exchange student] Part.16 -- Suka dan Duka"